Sastrawan yang baik bukan sekedar penyampai cerita yang baik.Ia adalah pemikir yang brillian. Pemikir yang selalu mencari cara-cara penulisan yang baru, menemukan plot dan menggali tema-tema segar. Ia pun perenung agung. Perenung yang merenungkan tentang manusia berikut kesadaran-kesadarannya.Bisa diduga tokoh-tokoh semacam ini sangat langka.Salah satunya adalah Ryunosuke Akutawaga.
Ryūnosuke Akutagawa
Ryūnosuke Akutagawa (芥川龍之介) adalah sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis novel pendek dan cerpen, aktif pada periode sho. Dia dikenal sebagai bapak Cerita Pendek Jepang. Dan sebagian besar dari karya sastranya merupakan kisah-kisah yang mengeksplorasi sisi gelap manusia.
Akutagawa bukan sekedar cerpenis, ia adalah perenung yang cukup tajam mengulik sisi-sisi dalam manusia, berbicara tentang moralitas yang ternyata tidak mutlak, melainkan relatif bahkan peragu (Rashomon).Akutagawa menulis tentang betapa rapuhnya pandangan manusia tentang dunia ini.Bahkan, tak segan menertawakan kesaksian langit sekaligus mempertanyakan netralitas pengadilan akhirat (Di Dalam Belukar). Akutagawa dapat membaca apa arti dan apa yang ada di balik sebuah kepuasan yang selama ini diangan-angankan (Bubur Ubi).
Sebagian besar karyanya berupa cerpen, seperti Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar ), Jigokuhen, dan Haguruma. Cerpen-cerpen tersebut diangkat dari kisah-kisah yang terdapat dalam naskah kuno seperti Konjaku Monogatarishū dan Uji Shūi Monogatari. Selain itu, Akutagawa juga menulis cerita untuk anak-anak, misalnya: Kumo no Ito (Jaring Laba-laba) dan Toshishun.
Akira Kurosawa menyutradarai film Rashomon (1950) yang didasarkan pada cerpen berjudul sama karya Akutagawa. Walaupun demikian, sebagian besar kejadian dalam film diambil dari cerpen lain, Yabu no Naka (Dalam Belukar).Pesan dalam film ini tersampaikan dengan baik, teknis dalam film ini pun membantu penyampaian pesan tersebut.Oleh karena itulah, Akira Kurosawa sukses mengadaptasi cerpen karya Ryunosuke Akutagawa dan sejak itu dianggap oleh dunia sebagai salah seorang sutradara terbesar di Jepang dan dunia sepanjang masa.
Kabarnya nama "Ryūnosuke" ("anak naga") sendiri berasal dari hari kelahirannya yang bertepatan dengan tahun Naga, bulan Naga, hari Naga, dan jam Naga (pukul 8 pagi). Walaupun sebenarnya, tanggal lahirnya, 1 Maret 1892 disebut di kalender sebagai tahun Naga), bulan Harimau, dan hari Naga, sedangkan jam lahir tidak disebut dalam catatan resmi.
Biografi Akutagawa Ryunosuke
Akutagawa Ryūnosuke, lahir di Tokyo, 1 Maret1892 di distrik Kyobashi, sebagai putra sulung penjual susu bernama Toshizō Niihara. Ketika berusia 7 bulan, ibunya yang bernama Fuku menderita sakit jiwa. Dan karena ayahnya tidak mampu mengurusnya, maka Ryūnosuke dititipkan di rumah orang tua ibunya, dan dibesarkan oleh bibi dari pihak ibu. Pada tahun berikutnya, Ryūnosuke mulai menggunakan nama keluarga Akutagawa setelah dijadikan anak angkat oleh pamannya yang bernama Akutagawa Dōshō (kakak kandung dari ibunya). Dari generasi ke generasi sejak zaman Edo, keluarga Akutagawa merupakan keluarga terpandang (sukiya bōzu) yang melayani keluarga Tokugawa dalam pelaksanaan upacara minum teh, dan berbagai macam pekerjaan lainnya.
Dia sangat tertarik dengan sastra klasik China pada masa-masa awal.Kusazoki yang menjadi bahan bacaan pertamanya banyak dipenuhi gambar-gambar hantu dan monster menyeramkan.Mori Ogai dan Natsume Soseki telah menjadi penulis yanng berpengaruh semasa masa pertumbuhan Akutagawa.Akutagawa memasuki sekolah pertamanya pada 1910.
Masa sekolah dilewatkannya di Tokyo, mulai dari Sekolah Dasar Umum Edo, Sekolah Menengah 3 Tokyo, Sekolah Lanjutan Atas 1, hingga Jurusan Sastra Inggris Universitas Kekaisaran Tokyo. Semasa sekolah Akutagawa membangun pertemanan dengan Kikuchi Kan, Kume Masao, Yamamoto Yûzô, and Tsuchiya Bunmei, semuanya kelak menjadi penulis terkenal.
Bulan Februari 1914, Akutagawa bersama teman kuliah bernama Kan Kikuchi dan Masao Kume mendirikan majalah sastra Shinshichō (Arus Pemikiran Baru).Majalah tersebut awalnya diisi Akutagawa dengan terjemahan karya Anatole France, Balthasar (1889) dan Yeats (The Heart of the Spring). Pada waktu itu, Akutagawa memakai nama pena Yanagigawa Ryūnosuke (柳川隆之助 atau 柳川隆之介). Kariernya sebagai penulis dimulai dengan cerpen berjudul Rōnen yang sempat dimuat Shinshichō sebelum kembali berhenti terbit di bulan Oktober tahun yang sama.
Cerita pendek yang menjadi salah satu adikaryanya, Rashōmon dimuat dalam majalah Teikoku Bungaku bulan Oktober 1915. Sejak itu pula, nama Akutagawa Ryūnosuke mulai digunakannya sewaktu menulis. Temannya yang bernama Miekichi Suzuki memperkenalkannya kepada novelis Natsume Sōseki yang menerimanya sebagai murid karena Natsume Soseki, sangat tertarik dengan hasil karya Akutagawa Ryuunosuke yang dirasa memiliki bakat dan ingin memberi dorongan dan bimbingan kepadanya dalam menulis.
Pada tahun 1916, Akutagawa kembali menghidupkanShinshichō dengan tim redaksi yang hampir sama dengan penerbitan sebelumnya. Setelah kembali terbit, edisi perdananya memuat cerpen berjudul Hana (Hidung) yang mendapat pujian dari Sōseki.Soseki memberikan pujian kepada Akutagawa dengan karyanya Hana, sebuah novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik.Pada tahun yang sama, Akutagawa lulus dengan nilai terbaik nomor dua di antara 20 mahasiswa. William Morris dijadikan topik skripsi yang ditulisnya.
Mulai bulan Desember 1916, Akutagawa menjadi pengajar bahasa Inggris di Akademi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, statusnya sebagai dosen tidak tetap.Di tengah kesibukan memberi kuliah, Akutagawa terus produktif menulis, dan menerbitkan antologi cerpen berjudul Rashōmon pada bulan Mei 1917.Setelah itu, Akutagawa secara berturut-turut menyelesaikan sejumlah cerpen, dan berhasil menerbitkan kumpulan cerpen Tabako to Akuma pada bulan November 1917.
Akutagawa sebenarnya ingin memusatkan diri pada sastra sepenuhnya dan menolak ajakan untuk mengajar di universitas Tokyo dan Kyoto. Akhirnya dia mengundurkan diri pada bulan Maret 1918 dan menjadi kontributor tetap koran Osaka Mainichi..Surat kabar tempatnya bekerja tidak mengharuskan dirinya menyumbang tulisan, sehingga Akutagawa bisa terus berkonsentrasi menulis.
Pada 12 Maret1919, Akutagawa menikahi Tsukamoto Fumi yang dikenalnya dari seorang teman bernama Yamamoto Kiyoshi. Fumi adalah anak dari Mayor AL Tsukamoto Nōgorō, sedangkan ibunya adalah kakak perempuan dari Yamamoto Kiyoshi.
Pada bulan Februari 1921, Akutagawa ditugaskan kantornya untuk berkunjung ke Tiongkok sebagai koresponden luar negeri, dan kembali bulan Juli tahun yang sama. Perjalanan ke Tiongkok dituangkan ke dalam tulisan berjudul Shanghai Yūki (Catatan Perjalanan ke Shanghai).Sekembalinya dari Tiongkok, kesehatan fisik dan mentalnya mulai menurun.Akutagawa mulai menderita gangguan kejiwaan yang waktu itu populer sebagai lemah syaraf (neurastenia) dan diare kronis.Pada tahun 1923, Akutagawa menginap beberapa lama di sebuah pemandian air panas (onsen) di Yugawara, Kanagawa dengan maksud pengobatan.
Selama sakit, jumlah karya yang ditulisnya terus menurun.Namun sejak itu pula mulai bermunculan karya Akutagawa yang cenderung bersifat shishōsetsu (otobiografi).Karya-karya tersebut dikenal sebagai Yasukichi-mono karena tokoh utama dalam cerita bernama Yasukichi.Kecenderungan ini terus berlanjut hingga karya-karya terakhirnya, seperti Haguruma (1927) dan Kappa (1927).
Pada tahun 1926, Akutagawa kembali berobat di pemandian air panas di Yugawara dengan keluhan lemah syaraf, tukak lambung, dan insomnia yang semakin parah.Pada tahun berikutnya, kakak iparnya, Yutaka Nishikawa bunuh diri pada bulan Januari 1927 setelah dicurigai melakukan pembakaran.Akibatnya, Akutagawa harus menanggung anggota keluarga dan membayar utang yang ditinggalkan kakak iparnya.
Pada bulan April 1927 terjadi polemik antara Akutagawa dengan Jun'ichirō Tanizaki akibat transkrip yang dimuat majalah Shinchō.Transkrip tersebut adalah hasil panel diskusi sastra yang diadakan Akutagawa bersama rekan-rekannya, dan di antaranya membahas karya Tanizaki. Cerita fiksi Tanizaki dikritik sebagai cerita yang memiliki plot menarik, namun cara penyajiannya tidak bagus. Tanizaki membela diri dengan serangkaian tulisan yang diterbitkan majalah sastra Kaizō. Akutagawa membalas pembelaan tersebut dengan seri kritik sastra Bungei teki na, amari ni Bungei teki na (Sangat Sastra, Terlalu Sastra Sekali) yang dimuat majalah Kaizō. Sebagai pembanding, Akutagawa memuji Naoya Shiga dalam cara penyajian cerita walaupun plotnya "Tidak ada cerita penting yang diceritakan" ("Hanashirashii hanashi no nai").
Diakhir hidupnya dia tidak bisa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dunia sekelilingnya.Pada masa-masa ini dia sering mengalami halusinasi dan dejavu.Hal-hal itu mengguncang jiwanya karena dia sadar sepenuhnya bahwa dia sedang menjadi gila.Sebelumnya akitagawa pernah mencoba untuk bunuh diri tetapi gagal.Dan puncaknya, pada dini hari di Tokyo, 24 Juli 1927, pada umur 35 tahun.Akutagawa bunuh diri dengan menelan obat tidur dalam dosis fatal. Pesan terakhir yang ditinggalkan kepada sahabatnya berbunyi, "Hanya kegelisahan yang usulnya tidak jelas" (ただぼんやりした不安Tada bonyarishita fuan). Pesan terakhir yang menjadi alasan bunuh diri ini, diambilnya dari kata-kata yang ia tulis dalam cerita halusinasinya “Kappa” yaitu: “Boku no shourai ni taisuru dare bonyaritoshita fuan” (Kehawatiran terhadap masa depan yang tak jelas).
Karya terakhir Akutagawa yang tidak bisa dianggap remeh adalah Kappa (1927) berkisah tentang seseorang yang tersesat ke negeri Kappa, sosok dalam mitos dan folklor masyarakat Jepang.Kappa adalah karya Satir yang dalam beberapa sisi memperlihatkan sisi kejiwaan Akutagawa yang tidak stabil dan mengalami gangguan.Dia menulis Kappa, Haguruma dan lain-lain dalam keraguan terhadap dirinya dan dalam penderitaan jiwa.Hatinya yang tersiksa oleh tekanan jiwa dilampiaskan ke dalam karya-karyanya.Kappa adalah cerita satir yang merupakan kekecewaan Akutagawa terhadap masyarakat Jepang pada masa itu.Dimana diyakini bahwa tokoh utama pada kappa merupakan dirinya sendiri.
Sebenarnya Dari kecil, Akutagawa memiliki masalah psikologis berupa ketakutan akan menjadi gila seperti ibunya.” Sejujurnya saya agak bingung dengan maksudnya, apakah ibunya juga memiliki masalah psikologis berupa ketakutan akan menjadi gila atau ibunya gila. Yah, kembali ke topik. Dia paranoid dan tumbuh dewasa dengan memendam masalah batin tersebut sehingga menjadi sangat sensitif dan pendiam.
Akutagawa meninggalkan putra sulung bernama Hiroshi Akutagawa (1920-1981) yang nantinya menjadi aktor. Sementara itu, putra ketiga, Yasushi Akutagawa (1925-1989) menjadi konduktor sekaligus komponis, sedangkan putra kedua, Takashi Akutagawa(1922-1945) gugur dalam perang dunia II. Sampai hari ini, cerpen karya Akutagawa dicantumkan ke dalam buku teks sebagai bacaan untuk murid sekolah menengah di Jepang.Jasad Akitagawa Ryunosuke, disemayamkan di kuil jigen-ji, Sugamo, Toshima-ku, Tokyo, 170-0002
Karya Sastra Akutagawa Ryunosuke
Untuk menciptakan suatu novel (kumpulan cerpen), Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolah dengan baik sehingga akhirnya lahirlah sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula. Di antara novel seperti itu adalah Rashomon, Gesaku Zanmai, Karenoshoo dan Yabu no Naka.Dia mempunyai keahlian untuk mengubah realitas, sehingga dia dijuluki grup cendekiawan atau neo realisme.
Akutagawa sangat familiar dengan Kesusastraan Eropa dan China.Dia pelanggan tetap Maruzen, publikasi berbahasa asing di Tokyo, dan tertarik dengan penulis barat seperti Strindberg, Mérimée, Nietzsche, Dostoevsky, Baudelaire, dan Tolstoy. Meski Akutagawa belum pernah berkunjung ke Barat, namun pengetahuannya akan kesusastraan Barat sangat luas.
Akutagawa menulis sekitar 150 cerita, beberapa sudah pernah difilmkan.'Rashomon' adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal.Akira Kurosawa memfilmkan Rashomon dari karya Akutagawa.Keduanya, baik buku dan filmnya mendapat pengakuan luas di dunia.Untuk menghormati pencapaian dan prestasi Akutagawa dalam kesusastraan Jepang, namanya diabadikan menjadi sebuah penghargaan bergengsi untuk kesusastraan Jepang, Akutagawa Prize.
Karya – karya Akutagawa Ryunosuke
Tahun | Judul Bahasa Jepang | Romaji | Judul Bahasa Indonesia |
1914 | 老年 | Rōnen | |
羅生門 | Rashōmon | Rashōmon | |
1916 | 鼻 | Hana | Hidung |
芋粥 | Imogayu | Bubur ubi | |
煙草と悪魔 | Tabako to Akuma | ||
戯作三昧 | Gesakuzanmai | ||
1918 | 蜘蛛の糸 | Kumo no Ito | Jaring Laba-laba/Suatu Hari di Surga |
地獄変 | Jigokuhen | ||
邪宗門 | Jashūmon | ||
1919 | 魔術 | Majutsu | |
蜜柑 | Mikan | ||
1920 | 南京の基督 | Nankin no Kirisuto | |
舞踏会 | Butōkai | ||
秋 | Aki | ||
杜子春 | Toshishun | ||
アグニの神 | Aguni no Kami | ||
1921 | 藪の中 | Yabu no Naka | |
1922 | トロッコ | Torokko | |
魚河岸 | Uogashi | ||
1923 | 雛 | Hina | |
漱石山房の冬 | Sōseki Sambō no Fuyu | ||
一塊の土 | Hitokure no Tsuchi | ||
あばばばば | Ababababa | ||
1925 | 大導寺信輔の半生 | Daidōji Shinsuke no Hansei | |
1927 | 玄鶴山房 | Genkakusambō | |
侏儒の言葉 | Shuju no Kotoba | ||
文芸的な、あまりに文芸的な | Bungeiteki na, amarini Bungeiteki na | ||
河童 | Kappa | Kappa | |
歯車 | Haguruma | ||
或る阿呆の一生 | Aru Ahō no Isshō | ||
西方の人 | Saihō no Hito |
Glosarium beberapa karya sastra Akutagawa
羅生門 (Rashomon) 1915
cerpen “Rashomon” merupakan sebuah cerpen yang sangat sederhana, namun penuh dengan emosi. Cerita ini mengambil latar suasana kota Kyoto yang bertambah sepi usai didera bencana beruntun mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karenanya Kyoto jadi senyap dan porak-poranda.Rashomon sendiri sering dikaitkan dengan Rajomon yaitu pintu gerbang pada zaman Heian (794-1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara.Mon berarti gerbang.Ketika itu, ibukota Jepang terletak di Nara.
Cerpen ini bercerita tentang seorang genin (bekas samurai rendahan) yang berteduh dari hujan di sebuah gerbang tua bernama Gerbang Rasho (mon artinya gerbang). Rashomon merupakan gerbang tua yang hancur, tempat mayat-mayat dibuang dan dianggap angker. Genin tersebut memutuskan untuk menjadi pencuri karena ia tidak memiliki pekerjaan. Namun, saat ia memeriksa gerbang tersebut, di lantai dua terdapat seorang nenek yang sedang mencuri rambut dari sesosok mayat perempuan. Genin tersebut marah dan rasa keadilannya muncul dalam sekejap, hendak menghukum sang nenek. Nenek itu berkata bahwa perempuan yang ia curi rambutnya saat masih hidup juga merupakan seorang yang jahat, jadi tidak ada salahnya mengambil dari perempuan itu. Dalam beberapa detik, naluri keadilannya hilang lagi, dan ia pun merampas baju si nenek, berdalih dengan alasan yang sama dengan si nenek.
蜘蛛の糸 (Kumo no Ito) 1912
Cerita ironis tentang seorang penjahat kambuhan, yang terlanjur disiksa di dalam neraka mendapatkan kebaikan dari Sang Buddha untuk masuk surga karena pernah menyelamatkan seekor laba-laba. Namun, karena keserakahan dan ketamakannya, benang laba-laba yang diulurkan Sang Buddha untuk membantunya masuk surga malah terputus sehingga ia kembali ke dasar neraka.
Melalui cerita ini, Akutagawa menceritakan kisah yang sederhana namun sarat makna dengan perumpamaan yang sederhana.Memberi kita pelajaran untuk senantiasa berusaha memanfaatkan kesempatan-kesempatan baik untuk berbuat tetapi dengan tidak serakah dan egois.
鼻 (Hana) 1916
Bagaimanakah perasaan anda bila memiliki hidung yang menjuntai hingga 16 cm dan mengganggu anda untuk makan.Kiranya, hal ini adalah tema utama dari cerita Hana (hidung).Seorang pendeta, Naigu, harus hidup dengan hidung yang panjang seperti itu.Dalam hidupnya, Naigu mengalami ketidakbahagiaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, dengan bentuk hidungnya yang seperti itu. Ketika perasaan seperti itu muncul, Naigu selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dengan bentuk hidung yang normal. Pada suatu waktu Naigu berhasil melakukan perubahan dengan hidungnya. Naigu senang karena ia bisa hidup dengan wajar tapi petaka itu justru baru dimulai. Naigu mulai merasa tidak bahagia dengan hidungnya yang baru.Kebahagiaan yang jadi tujuannya pun tidak tercapai.
Dari cerita ini, Akutagawa memainkan ide dan makna eksistensial dari seseorang dalam lingkungannya.Betapa kita hanya bisa jadi ada dan dianggap ada bila kita memang diterima oleh lingkungan kehidupan sehari-hari. Wujud penghargaan dari orang lain itulah yang sering kita anggap sumber kebahagiaan.
Akutagawa, melalui cerpen ini, mengajarkan kita untuk senantiasa berbahagia dengan apa yang kita miliki saja. Namun, nafsu manusia seakan tidak berhenti untuk mencapai suatu kebahagiaan lain dan pada akhirnya tidak mendatangkan kebahagiaan apapun. Seringkali, berubah menjadi kesengsaraan.Betapa tipis dan rapuhnya jurang pemisah antara bahagia dan sengsara.
芋粥 (Imogayu) 1916
Bercerita tentang seorang Goi (samurai kelas terendah pada zaman Heian).Goi mengalami berbagai penghinaan dalam seluruh hidupnya sebagai seorang samurai, bahkan ketika sedang makan Imogayu (bubur ubi) sekalipun.Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan tuannya, Goi mendapatkan kesempatan untuk makan bubur ubi sepuasnya. Dengan rasa bahagianya itu ia bias melupakan masa lalunya yang penuh penghinaan.
Cerita ini menyiratkan moral tentang kriteria-kriteria seperti apa yang membuat seseorang layak dihina atau dipermalukan. Seorang samurai yang hidup dalam kelas masyarakat tersendiri pun masih dapat diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang-orang diluar kelasnya.Akutagawa, dalam hal ini berhasil menceritakan dan menggambarkan bagaimana masih rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap sesama.
藪の中 (Yabu no Naka) 1921
Akutagawa bercerita tentang kisah tragis pasangan suami istri yang jadi sasaran pembunuh.Cerpen ini berisi berbagai monolog beberapa tokoh dalam sebuah pengadilan. Terdapat tujuh tokoh yang melakukan kesaksian, yaitu Penebang Kayu, Pendeta pengembara, Polisi bekas penjahat, Perempuan Tua mertua Takehiro, Tajomaru, isteri Takehiro, dan seorang dukun Shinto perempuan yang menjadi medium roh Takehiro. Ketujuh tokoh ini menceritakan sebuah kejadian dari sudut pandang yang berbeda-beda.Dari ketujuh kesaksian itu, terdapat tiga kesaksian yang berkaitan dengan sebuah kejadian, yaitu pemerkosaan terhadap isteri Takehiro dan pembunuhan terhadap Takehiro.Sedangkan keempat kesaksian lainnya tidak berkaitan langsung dengan kejadian tersebut, kecuali kesaksian Penebang Kayu yang agak janggal. Pembahasan mengenai kejanggalan ini akan diuraikan di bawah. Ketiga kesaksian utama, yaitu kesaksian Tajomaru, isteri Takehiro, dan Takehiro sendiri, Takehiro, lewat seorang medium memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai sebuah kebenaran: pembunuhan Takehiro dan siapa pelakunya. Anehnya, ketiganya mengakui bahwa mereka lah yang membunuh Takehiro, bahkan Takehiro mengaku melalui medium bahwa ia melakukan bunuh diri.
Akutagawa tidak memaksakan dan menggiring pembaca pada satu kesimpulan. Akutagawa berhasil memainkan plot cerita dengan keterangan yang beragam dari saksi-saksi sehingga kita dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri. Inilah karya sastra yang baik dimana kita sebagai pembaca dibiarkan menarik kesimpulan dan memiliki penilaian masing-masing terhadapnya.Dalam cerita ini juga, Akutagawa mengangkat nilai-nilai kehormatan sebagai bagian dari budaya tinggi Jepang seperti budaya tinggi Samurai.
河童 (Kappa) 1927
Kappa bercerita tentang seorang manusia yang tidak sengaja masuk ke dalam dunia bangsa Kappa dalam perjalanan pendakiannya ke Gunung Hodaka.Kappa merupakan sosok binatang dalam imajinasi Akutagawa.Menurut penulis, Kappa sendiri digambarkan sebagai makhluk yang memiliki tinggi kira-kira satu meter. Rambut pendek, tangan dan kakinya berjari.Di atas kepalanya terdapat lekukan cekung yang berisi sedikit air. Sebelum Kappa kehilangan air di atas kepalanya, ia lebih kuat dari laki-laki yang paling perkasa sekalipun. Kappa hidup di air, biasa keluar di malam hari untuk mencuri semangka, apel, dan hasil ladang lainnya.Kulitnya yang licin membuat kappa sulit ditangkap.
Kappa digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai peradaban kehidupan mirip dengan manusia. Akutagawa dengan sangat fantastis, imajinatif, dan detail menceritakan perjalanan tokoh aku dalam suasana kehidupan sehari-hari bangsa Kappa.Imajinasi yang kaya dan liar dalam cerpen.
Dari beberapa sasaran yang telah disebutkan tadi, hal yang menurut saya paling menarik untuk dikaji adalah tentang sensor atas seni dan tindakan bunuh diri yang sudah akrab dalam keseharian masyarakat Jepang.
‘seni hanya untuk seni’, dan tidak seharusnya seni dikendalikan oleh siapa pun, termasuk pemerintah.Ketika seni atau yang lainnya tidak bisa lagi menyelamatkannya dari “kelelahan”, maka bunuh diri akhirnya menjadi jalan yang menurut mereka terbaik.“Ini adalah kutipan dari Mignon-nya Gothe. Dengan kata lain, bunuh diri Tok berarti bahwa dia menyadari dirinya sebagai seorang penyair jenius puitisnya sudah lelah.” (Kappa, Hal: 87)
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar